Museum Cut Nyak Dhien
Museum Cut Nyak Dhien yang berbentuk rumah
tradisional Aceh (rumoh Aceh), merupakan replica dari rumah srikandi Aceh, Cut
Nyak Dhien. Awalnya rumah ini adalah
tempat tinggal Cut Nyak Dhien. Di era Perang Aceh, rumah ini sempat dibakar
oleh tentara Belanda (1893) yang lalu dibangun kembali pada awal tahun 1980an
dan dijadikan sebagai museum. Pondasi yang terletak pada bangunan ini masih
asli.
Dua tahun kemudian, seorang pria bernama Teuku Umar datang ke pihak keluarga Cut Nyak Dhien untuk melamarnya. Secara pribadi, Cut Nyak Dhien bersedia menerima lamarannya asalkan Teuku Umar menerima permohonannya, yaitu apabila menikah dengannya agar ia diizinkan ikut bersama suaminya berperang melawan Belanda. Permohonan Cut Nyak Dhien diterima Teuku Umar dan pada tahun 1880 mereka pun menikah. Sebagai seorang istri, ia setia dan selalu mendukung perjuangan suaminya. Peristiwa kelam terjadi pada tahun 1899, Teuku Umar meninggal karena ditembak dengan peluru emas oleh tentara Belanda. Akhirnya, Cut Nyak Dhien mengambil alih kepemimpinan suaminya. Selama enam tahun ia berjuang bersama anaknya Cut Gambang, memimpin pasukan, menerapkan strategi perang gerilya dan hidup bersama pasukannya di dalam hutan. Akhirnya, di usianya yang senja dengan mata yang rabun ia ditangkap oleh tentara Belanda di hutan dan diasingkan ke Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Pada tanggal 6 November 1908 ia meninggal dan dikebumikan di Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang.
Hingga kini, status Rumoh Cut
Nyak Dhien ini tetap menjadi sebuah museum untuk mengenang masa-masa perjuangan
pahlawan wanita yang perkasa ini, bagian interiornya tetap dirawat,
bahkan kamar tidurnya masih memiliki ranjang khas sebagaimana orang aceh
menggunakannya pada jaman perang dahulu, furniturenya yang khas memiliki banyak
corak-corak ornament aceh masa lampau yang menunjukkan bahwa warisan aceh
masih ada dan terpelihara, walaupun hanya melalui museum tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar